Kendati banyak yang meragukan keberadaannya, keberadaan public
relations (PR) 2.0 terbukti terus bergulir di tengah ‘ledakan’ gerakan media
baru yang disebut social media. PR 2.0 melakukan
caranya dalam menerapkan gaya komunikasi baru dengan
lebih sederhana, cepat, mudah, dan menjangkau sasaran luas dalam upayanya untuk membangun integrated marketing communications
(IMC).
PR dan media ibarat dua sisi mata pisau. Kemana PR bergerak,
disitu pula terdapat media. Dalam era di mana berita bisa mudah di akses kapan dan
dimana saja, Public
Relations 2.0 terbukti sangat dibutuhkan. Apalagi akses social media yang sudah membumi dan
menjadi teman kesehari-harian publik, membuat publik memiliki power
yang besar dalam membentuk opini, menyebarkan berita, dan
mempengaruhi publik lain akan sebuah isu perusahaan. Komunikasi
pun berlangsung secara dua arah (timbal balik) antara perusahaan dengan publik
melalui perantara media. Akibatnya akses reputasi perusahaan dapat
menjadi lebih terbuka dan langsung ke publik, dalam hal ini publik perusahaan
itu sendiri.
Cara komunikasi pelanggan inilah yang disebut sebagai Feedback
2.0. Karakter Feedback 2.0 tersebut terdapat dalam social media yang memang lebih mengedepankan interaksi,
partisipasi, dan kolaborasi terbuka. Kini setiap orang mempunyai kesempatan
untuk menyuarakan ide, pendapat, dan pengalaman mereka melalui media online
khusus (blog atau website) ataupun jaringan online sosial, seperti Facebook, My Space, Blogger, You Tube,
dan sebagainya.
Disinilah peran
seorang Public Relations dibutuhkan. Seorang praktisi di bidang ilmu
komunikasi, Lukman Luthfie menyatakan bahwa di era online social media, era di mana konsumen melakukan percakapan
secara horisontal satu sama lain di dunia maya, seorang PR yang compatible di bidangnya sangat
dibutuhkan. Sudah jelas bahwa peran PR jauh lebih penting daripada marketing. Public relations yang sebelumnya
berperan untuk memonitor reputasi perusahaan, brand image dengan mendapat tolak
ukur dari media massa baik koran, majalah, radio atau tv. Kini, harus merambah
untuk memantau opini-opini yang terjadi diranah social media, yang merupakan media langsung bagi publik untuk
menuangkan segenap pikiran-pikirannya, termasuk potensinya untuk menyebarkan
isu perusahaan.
Apalagi semenjak blog mudah dibuat, forum online bertebaran dan social media bertumbuhan, setiap
pengguna Internet bisa menjadi penyampai pesan. Mereka yang biasanya hanya
menonton televisi, membaca koran/majalah, mendengarkan radio, browsing di
Internet, kini juga bisa membuat blog, membuat akun di Facebook atau
Friendster, dan menuliskan pesan apa saja yang mereka sukai dan inginkan. Jika
mereka tidak suka dengan pengalamannya mengkonsumsi sebuah produk, mereka
dengan mudah menulisnya dan menyebarkannya di forum atau milis. Mereka tidak
perlu bersusah payah mengirim surat pembaca ke media cetak yang entah kapan
dimuatnya. Demikian juga, jika mereka senang dengan sebuah produk, tentu mereka
akan melakukan hal yang sama untuk mengungkapkan pengalamannya.
Diakui atau
tidak, situasi seperti diatas telah mendorong praktisi PR melakukan reposisi
diri. Ada tiga hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, banyak perusahaan
menghendaki aktivitas komunikasi mereka terpadu dengan kegiatan pemasaran, atau
lebih dikenal dengan komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communications). Proses IMC berawal dari
pelanggan atau calon pelanggan, kemudian berbalik pada perusahaan untuk menentukan dan
mendefinisikan bentuk dan metode yang perlu
dikembangkan bagi program komunikasi yang persuasif. Istilah
‘terintergrasi’ menunjukkan keselarasan atau
keterpaduan dalam hal tujuan, fokus, dan arah strategis antar elemen
bauran komunikasi pemasaran dengan unsur
bauran pemasaran. Artinya, PR menjadi bagian dari marketing, sehingga ia pun
terlibat dalam konsep dan eksekusinya. Praktisi PR memiliki target-target yang
tak hanya pada upaya membangun citra, tetapi juga target-target terukur
mendukung upaya pemasaran dan penjualan.
Kedua,
pemahaman komunikasi sudah berkembang jauh. Komunikasi bukan hanya
diterjemahkan dengan hubungan satu arah, melainkan komunikasi yang
terintegrasi, menggabungkan segala komponen, mulai dari public affairs, Public Relations sampai dengan advertising. Akibatnya, kini praktisi Public Relations terlihat
lebih kreatif dalam menyajikan terobosan-terobosan yang efektif.
Penyebab
ketiga adalah, era web 2.0 telah membuka mata praktisi Public Relations
terhadap cara komunikasi baru yang lebih sederhana, cepat, mudah, dan menjangkau
sasaran luas. Pergerakan informasi yang transparan dan real time adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Kendati banyak yang
meragukan keberadaannya, program public relations (PR) terbukti terus bergulir
di tengah arus web 2.0 dan upaya perusahaan membangun integrated marketing communications (IMC).
Kedepannya
dalam sisi perencanaan, Public Relations harus menyusun sebuah Integrated Marketing Communication goal yang tidak hanya mendorong
terjadinya awareness-interest-desire-action,
tapi juga goal untuk menciptakan conversation, engagemant, dan advocacy
di kalangan konsumen. Konsep AIDA merupakan short-term
goal, sedangkan engagemant dan advocacy merupakan long-term goal.
Dengan
kemunculan media baru yaitu “horizontal
media”, maka konsep integrated
marketing communication (IMC) harus direkonstruksi menjadi integrated marketing communication
bentuk baru. Dalam integrated marketing
communication dengan format baru tidak hanya memuat vertical media baik above the line maupun below the line, tetapi juga mulai memasukkan
horizontal media atau social media. Integrated Marketing Communication yang bagus adalah integrated marketing communication yang
mengintegrasikan vertical integrated
marketing communication dengan horizontal
integrated marketing communication.
Intinya
adalah Public Relations 2.0 bukan lagi sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga
mengelola konsumen yang mampu menjadi publisher di dunia maya. Posisi konsumen
kini sudah naik pangkat. Mereka tidak lagi sekadar konsumen, tapi juga
publisher dan influencer. Di saat konsumen ingin dianggap sebagai individu,
maka pemasar harus lebih manusiawi dalam hal praktik pemasarannya. Yang
diperlukan adalah praktik pemasaran yang lebih terbuka di mana pemasar
melakukan engagement dengan konsumen secara horisontal, ekspiriensial, komunal,
dan juga mempergunakan platform teknologi yang ada.
Jelas Public Relations
2.0 jauh lebih rumit dan menantang dibanding Public Relations 1.0. Kedepannya,
dunia PR akan terus mengalami perkembangan yang pesat. Namun, diakui masih banyak
pekerjaan rumah yang harus di selesaikan. Misalnya edukasi terhadap pemegang
otoritas dalam perusahaan tentang arti penting PR, peningkatan konpetensi dari
para praktisi PR dan juga benchmarking
terhadap program-program PR yang baik dari dalam maupun dari luar.
Social
Media adalah pendekatan langsung ke konsumen yang memungkinkan untuk melakukan
komunikasi dengan masyarakat. PR profesional mulai memasukkan PR 2.0 ke dalam
strategi dan perencanaan sebagai cara yang efektif untuk berkomunikasi secara
langsung melalui web 2.0 kepada publik, untuk meningkatkan kesadaran dan
meningkatkan merek secara keseluruhan (Breakendridge, 2009).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar